JAKARTA: Kasus properti yang merugikan konsumen pada tahun ini diproyeksi makin meningkat, karena malapraktik bertambah canggih pada saat upaya perlindungan hukum masih lemah.
Dalam 2 tahun terakhir, kasus yang merugikan konsumen properti bertambah 17%. Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), total pengaduan konsumen pada 2008 tercatat 428 kasus, dan pada 2009 bertambah menjadi 501 kasus.
Dari seluruh kasus pada 2008, sebanyak 49 kasus di antaranya merupakan pengaduan perumahan. Pada 2009, angka itu melonjak 46,94% menjadi 72 kasus.
Ketua Harian YLKI Sudaryatmo mengatakan kasus pengaduan konsumen properti menempati peringkat ketiga dari kasus-kasus yang ditangani YLKI.
"Peringkat ini termasuk yang sangat memprihatinkan," katanya dalam diskusi bulanan Forwapera tentang Perlindungan Hak Konsumen atas Hunian, antara Teori dan Realita, kemarin.
Jika diperinci, kasus itu meliputi keterlambatan serah terima rumah/satuan rusun oleh pengembang, kasus sertifikasi, kasus minimnya realisasi fasilitas sosial dan utilitas umum akibat perbedaan regulasi antardaerah.
Pengaduan konsumen juga menyangkut isi perjanjian pengikatan jual-beli (PPJB) properti yang dinilai berat sebelah hingga muncul kasus kenaikan harga rumah secara sepihak.
Menurut dia, kasus PPJB justru mendominasi pengaduan karena banyak konsumen yang merasa dirugikan atas kontrak PPJB yang dibuat. "Sepanjang 2010, kasus-kasus yang merugikan konsumen properti kami perkirakan lebih besar karena kualitas malapraktiknya semakin canggih."
Sayangnya, YLKI hanya bisa menerima pengaduan, bukan lembaga yang bisa menuntaskan pengaduan konsumen properti.
Sementara itu, berbagai upaya perlindungan hukum yang masih lemah dinilai menjadi salah satu pemicu peningkatan kasus yang merugikan konsumen properti.
Ketiadaan lembaga alternatif yang khusus melindungi terampasnya hak-hak konsumen properti menyebabkan mereka dibiarkan bertarung bebas menghadapi para pengembang berdasarkan hukum pasar. Keadaan ini sering kali membuat konsumen selalu di pihak yang terkalahkan.
Sistem peradilan
Praktisi Hukum Properti Erwin Kallo menilai sistem peradilan di Indonesia turut andil memperlemah posisi konsumen properti karena sampai saat ini tak ada sebuah badan penyelesaian sengketa untuk konsumen properti.
"Berbagai keadaan itu kian memperlemah posisi tawar konsumen ketika terjerat sengketa dengan para pengembang," katanya dalam diskusi itu.
Menurut Erwin, salah satu jalan keluar efektif dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pengembang terkait dengan legalitas PPJB adalah dengan merevisi SK Kepmenpera No. 9/KPTS/M/1995 tentang PPJB.
Revisi ini dibutuhkan agar PPJB diperlakukan lebih fleksibel sehingga memberikan perspektif positif bagi konsumen serta mengukuhkan sebuah lembaga hukum alternatif yang bertugas menyelesaikan perselisihan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPP-REI) Teguh Satria mengatakan REI telah membentuk dua lembaga untuk mengantisipasi masalah dengan konsumen yakni Badan Sertifikasi dan Advokasi Anggota (BSAA) serta Badan Kehormatan REI.
"BSAA bertugas mengadvokasi anggota [pengembang] REI dan BK REI yang bertugas memberikan teguran lisan dan tertulis jika ada anggota REI yang berbuat di luar ketentuan. Sanksi terberatnya adalah pemecatan sebagai anggota dan REI akan tembuskan perusahaan bermasalah itu ke Bank Indonesia serta perbankan."(er)
[Sumber: http://web.bisnis.com/umum/headlines_bisnisindonesia/1id206772.html ]
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar