Di Pegangsaan Timur 56, kala itu, Presiden Soekarno meletakkan karangan bunga di Tugu Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1957. Di belakang Tugu Proklamasi itu masih tampak gedung bersejarah tersebut.
Bung Karno tinggal di rumah itu sejak awal zaman jepang, tahun 1942. Ia tinggal disana hingga awal januari 1964. Setelah itu, Bung Karno, juga Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, mengungsi dan tinggal di Yogyakarta karena keadaan di Jakarta makin genting akibat masuknya pasukan NICA yang diboncengi tentara Belanda yang mau berkuasa lagi di Indonesia. Rumah itu selanjutnya ditempati Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI.
Ada kisah menarik kenapa Bung Karno sampai tinggal di Jalan Pegangsaan Timur. Menurut pengamat bangunan cagar budaya Jakarta, Bambang Eryudhawan, waktu itu Bung Karno sebenarnya ingin juga memiliki rumah di daerah Menteng, seperti para pemimpin nasional lain. Mereka langsung menempati rumah-rumah di daerah elite itu setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang.
Namun, Bung Karno terlambat datang di Jakarta dari Bengkulu, tempat dia dibuang Belanda. Sementara para pemimpin perjuangan kemerdekaan lain sudah berada di Jakarta saat Belanda menyerah pada bulan Maret, Bung Karno dan Bu Fat (Fatmawati) baru tiba di Ibu Kota pada bulan Juli. Ia tak kebagian rumah di Menteng dan harus puas dengan jatah rumah di Jalan Pegangsaan Timur, yang berada sedikit di luar wilayah Menteng. ”Namun, Bung Karno tak pernah menyatakan kekecewaannya. Ia bilang, ia senang dengan rumah itu karena punya halaman yang luas,” papar Bambang yang arsitek
Tugu Petir dan Gedung Pola
Saat hadir dalam sidang pleno istimewa Dewan Perancang Nasional (Depernas), 13 Agustus 1960, Presiden Soekarno menyatakan kehendaknya mendirikan Tugu Proklamasi di titik tempat Soekarno-Hatta berdiri saat memproklamasikan kemerdekaan. Untuk itu, Gedung Proklamasi harus dibongkar dan lahannya dijadikan bagian dari taman yang di tengah-tengahnya menjulang Tugu Proklamasi setinggi 17 meter, yang rencananya akan terbuat dari perunggu. Dikatakan pula, Tugu Proklamasi yang lama, yang sudah berdiri di sana sejak tahun 1946, harus ikut dibongkar untuk digantikan dengan Tugu Proklamasi ”yang sebenarnya”.
Bung Karno bersikukuh pada keputusan untuk membongkar Gedung Proklamasi. Katanya, di bekas lokasinya akan dibangun gedung yang indah dan megah, sesuai dengan martabat bangsa Indonesia yang besar. Secara lisan, ia pun memerintahkan Gubernur Sumarmo membongkar gedung Pegangsaan Timur 56 dan Tugu Peringatan Proklamasi. Keduanya sudah harus rata dengan tanah sebelum tanggal 1 Januari 1961.
Setelah Gubernur Sumarmo melaksanakan perintah lisan tersebut, di tempat itu Bung Karno pada 1 Januari 1961 meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Proklamasi, yang lalu dikenal warga Jakarta sebagai Tugu Petir. Tak seperti dibayangkan sebelumnya, tugu itu tak bisa dibilang indah. Hanya berbentuk tiang bulat tinggi yang di puncaknya bertengger lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di bawah tugu itu kemudian dicantumkan tulisan: ”Di sinilah Dibacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung karno dan Bung Hatta”.
Gedung Proklamasi yang bersejarah musnah sudah. Keasrian tamannya yang luas pun ikut terkubur dengan dibangunnya Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta. Monumen megah yang diresmikan Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1980 itu menjadi struktur paling mencolok di atas lahan bekas tempat tinggal Bung Karno itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar