Aturan tentang kepemilikan apartemen bagi warga asing kembali menuai perdebatan hangat dalam perumusan rancangan Undang-Undang tentang Rumah Susun. Perdebatan itu bahkan memicu molornya penyelesaian RUU Rusun yang disusun pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Wacana pengaturan hunian vertikal oleh warga asing dalam RUU Rusun itu berangkat dari keyakinan, bahwa kepemilikan properti komersial tersebut akan menggairahkan industri properti di Tanah Air. Masalah utama aturan kepemilikan hunian vertikal oleh asing bersumber pada status kepemilikan berupa hak pakai dan jangka waktu kepemilikan selama 25 tahun dan dapat diperpanjang.
Aturan itu dianggap tak menarik bagi investasi. Sebabnya, proyek apartemen dan kondominium umumnya dibangun di atas tanah hak guna bangunan (HGB). Dampak aturan itu, apabila pengembang membangun apartemen atau kondominium dengan alas HGB, maka orang asing akan sulit membeli. Sebaliknya, kalau kepemilikan properti di atas hak pakai, konsumen lokal yang enggan membeli.
"Aturan seperti ini sangat menghambat iklim investasi," tutur seorang pengembang kawakan.
Belakangan, tak ada kata sepakat antara DPR dan pemerintah terkait pengaturan hunian vertikal bagi warga asing. Di kalangan Panitia Kerja DPR untuk RUU Rusun, bahkan muncul pro dan kontra terkait perlu atau tidaknya aturan kepemilikan hunian vertikal bagi asing diadopsi dalam undang-undang.
Panitia Kerja DPR untuk RUU Rusun menuding pemerintah lamban dalam menghasilkan rumusan final ketentuan hunian vertikal bagi warga negara asing. Namun, pemerintah berpendapat, rumusan final itu harus disusun selaras dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Padahal, UU Pokok Agraria masih perlu direvisi.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa bahkan mengaku lebih setuju jika aturan kepemilikan apartemen bagi warga asing tidak dimasukkan dalam RUU Rusun. Pembenahan aturan cukup dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kepemilikan Tempat Tinggal oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Faktanya, sejak pemerintah menggulirkan rencana revisi PP Nomor 41 Tahun 1996 pada 2010, hingga kini draf revisi itu belum tuntas. Satu hal yang sudah pasti, pengaturan hunian vertikal bagi warga asing menjadi isu sensitif di tengah krisis rumah rakyat.
Hingga 2010 lalu, kekurangan rumah rakyat telah mencapai 13,6 juta unit. Angka ini jauh melebihi angka kekurangan rumah pada 2009 sebanyak 8,2 juta unit.
Pengaturan kepemilikan properti asing seharusnya tidak perlu berbuntut tarik-menarik kepentingan. Bangsa ini punya masalah yang lebih mendesak, yakni merumahkan rakyat secara layak.
Sumber : wwwproperti.kompas.com/Rumahkan.saja.Rakyat.Tak.Perlu.Tarik-Menarik.
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar