JAKARTA: Masalah cidera janji (wan prestasi) para pengembang di antaranya untuk merealisasikan bangunan menjadi kasus yang paling banyak diadukan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yakni mencapai lebih dari 50%.
Staf Legal YLKI Yani Aryanti Putri mengatakan masalah cidera janji menjadi persoalan yang dominan dalam laporan konsumen dalam sektor properti. Beberapa masalah yang kerap muncul adalah terkait dengan realisasi pembangunan yang tak kunjung dilakukan.
“Bahkan ada pengembang yang bangkrut sehingga konsumen justru tak mendapatkan apa-apa karena prioritas pembayaran pailit adalah untuk kreditur utama. Pembayaran ke konsumen dilakukan jika masih ada aset yang tertinggal,” ujar Yani kepada Bisnis di Jakarta, hari ini.
Selama 2010, YLKI menerima 539 pengaduan konsumen di mana kasus perumahan menjadi nomor tiga yakni sebanyak 75 kasus atau 18%. Sedangkan posisi pertama dan kedua ditempati pengaduan sektor telekomunikasi serta perbankan. Sementara pada periode Januari-Maret 2011, lembaga itu menerima sekitar 200 pengaduan di mana masalah properti masih menempati nomor tiga atau dengan komposisi jumlah yang relatif mirip dengan akhir 2010.
Selain masalah tidak dilakukannya realisasi pembangunan, Yanti menuturkan, masalah wan prestasi lainnya adalah menyangkut sertifikasi, pembangunan fasilitas umum-fasilitas sosial serta serah terima bangunan. Dia mengungkapkan sejumlah kasus di antaranya adalah tidak kunjung dibangunnya fasilitas umum pada tanah yang telah tersedia dan sebelumnya disampaikan ke konsumen.
“Pembangunan fasilitas umum maupun sosial tak kunjung dilakukan karena pengembang menggarap tanah tersebut untuk bisnis lainnya. Ini yang membuat konsumen protes karena tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan,” ujarnya.
Yani juga memaparkan pihaknya menerima banyak pengaduan dari konsumen yang melakukan transaksi perumahan di kawasan Depok, Bogor, Bekasi dan Jakarta sendiri. Berdasarkan data YLKI, beberapa konsumen yang mengeluhkan masalah wan prestasi berada di kawasan Tangerang, Jakarta, Depok, dan Bogor.
Ketika dikonfirmasi mengenai persyaratan 20% keterbangunan fisik dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), dia mengungkapkan sampai sekarang aturan pelaksana teknis masih belum rampung. Menurut Yani, persoalan wan prestasi akan menjadi persoalan bagi konsumen.
Walaupun demikian, Real Estate Indonesia (REI) sebelumnya mengeluhkan persyaratan keterbangunan fisik minimal 20% seperti yang diamanatkan dalam UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sebelum dapat menjual rumah tunggal, rumah deret atau rumah susun untuk konsumen.
Namun, Menpera Suharso Monoarfa mengatakan justru UU tersebut berfungsi untuk melindungi publik sebagai konsumen. Dia menuturkan selama ini banyak konsumen yang telah membayar kepada pengembang, namun bangunannya belum rampung.
"Justru UU ini akan memberikan proteksi keapda publik, di mana 20% keterbangunan sudah tersedia baru dilakukan penjualan. Dengan aturan itu, memberikan kesempatan kepada pengembang jika ingin masuk bisnis properti maka harus berkomitmen," ujarnya.
Ketua Dewan Umum Pembina DPP REI Teguh Satria mengatakan para pengembang mengeluhkan adanya persyaratan keterbangunan 20% seperti yang diamanatkan dalam UU PKP tersebut. Menurut dia, hal itu dapat berimbas terutama pada pengembang dalam skala kecil.
"Bagaimana denganpersyaratan 20% keterbangunan itu? Hal tersebut sangat memberatkan pengembang terutama dalam skala kecil," ujar Teguh.
Pada Pasal 42 ayat (2) UU PKP disebutkan perjanjian pendahuluan jual beli dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas status kepemilikan tanah, hal yang diperjanjikan, kepemilikan izin mendirikan bangunan induk, ketersediaan prasarana, sarana dan utilitas umum serta keterbangunan perumahan paling sedikit 20%.
Sumber : www.bisnis.com/-kegagalan-merealisasikan-bangunan-dominasi-pengaduan-konsumen-properti-di-ylki
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar