Praktisi sektor properti memperkirakan, harga lahan di sejumlah kota penyangga atau kawasan satelit Jakarta pada tahun depan semakin prospektif bagi tumbuhnya proyek-proyek properti baru terutama di subsektor perumahan dan komersial.
Senior Vice President Coldwell Banker Indonesia (CBI), Tommy Bastamy, saat dihubungi di Jakarta, Rabu, mengatakan, harga lahan untuk kawasan residensial (hunian) di Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi diprediksi naik rata-rata 10 persen dibandingkan dengan harga lahan pada 2010.
"Sedangkan, kenaikan harga lahan untuk pengembangan kawasan komersial di kota-kota penyangga tersebut diperkirakan bisa mencapai sekitar 15 persen dibandingkan dengan kondisi tahun ini," katanya. Optimisme itu, tegasnya, seiring dengan perkiraan membaiknya kondisi makro ekonomi hingga beberapa tahun ke depan.
Ia juga menjelaskan, sejak beberapa tahun terakhir, minat para pengembang membangun proyek-proyek baru di pinggiran Jakarta membesar terutama didorong oleh kondisi Jakarta yang kian padat serta tingginya harga lahan. Keadaan di Jakarta yang demikian padat, lanjutnya, berpotensi menciptakan stagnasi bisnis sehingga kawasan penyangga kini semakin diincar menjadi alternatif pengembangan.
"Inilah salah satu faktor yang mendorong harga lahan di kota-kota satelit tumbuh pesat. Apalagi, aksesibilitas transportasi dan infrastruktur dasar yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota itu semakin baik. Kawasan residensial bisa berkembang lebih dahulu," katanya.
Meski demikian, dia tak memungkiri ada sejumlah pengembang yang masih terlilit masalah internal sehingga konsumen dituntut lebih cermat sebelum melakukan transaksi bisnis properti di luar kawasan satelit tersebut.
Sebagai contoh, PT Karabha Digdaya, pengembang kompleks properti Emerald di Cimanggis, Depok, sejak 1998 sampai saat ini masih menuntaskan sengketa utang-piutang dan kepemilikan saham mereka dengan kreditur lamanya PT Bank Lippo Tbk (kini CIMB Niaga).
Semakin Rumit
Belakangan, kasus tersebut semakin rumit dan panjang sehingga PT Swadaya Prada Pratama selaku pemegang saham Karabha Digdaya mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung pada tahun ini.
Kuasa Hukum PT Swadaya Prada Pratama, Alexius Tantrajaya mengatakan kasus ini bermula saat Karabha Digdaya dinyatakan pailit di Pengadilan Niaga Jakpus oleh dua krediturnya, Bank Lippo dan PT Bank Internasional Indonesia (BII) pada 1998.
Karabha dinilai pailit karena tidak sanggup melunasi utang pokok berikut bunga dan denda senilai Rp398,18 miliar. Total nilai utang tersebut setara dengan seluruh aset Karabha sebesar 675 ha di kawasan Emerald Cimanggis.
Atas putusan itu, lanjutnya, Karabha sempat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), dan disetujui oleh Pengadilan Niaga Jakpus melalui putusan tertanggal 25 Mei 1999 yang berisi tentang pengesahan (homologisasi) perdamaian antara Karabha, Lippo dan BII.
Atas putusan pengesahan perdamaian itu, salah satu kreditur melayangkan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, MA menolak pengajuan permohonan kasasi itu karena perdamaian PN Jakpus dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Tommy menambahkan, pihaknya tetap yakin adanya masalah internal di tubuh sejumlah pengembang tetap tak akan menyurutkan konsumen melebarkan transaksi properti di kota-kota penyangga selama aksesibilitas kota-kota satelit itu lancar serta aspek infrastruktur yang terus membaik.
"Itu masalah internal pengembang, konsumen tidak peduli karena secara hukum, siapa pun pemilik akhirnya, kekuatan hukumnya juga akan jelas," katanya.
Harga lahan untuk kawasan residensial (hunian) di Tangerang, Depok, Bogor, dan Bekasi diprediksi naik rata-rata 10 persen dibandingkan dengan harga lahan pada 2010.-- Tommy Bastamy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar